Hm.
Sangat jarang terjadi, pertandingan sepak bola tidak ricuh, tidak rame. Kalo tidak rame ya mungkin gak enak ya.. secara suporter gitu loh.. ya gak bakal puas kalo tidak bersorak sorai saat pertandingan atau ketika hasil pertandingan sudah ada. Kalo tidak ricuh, ya bisa dibilang jarang. Apalagi untuk klub-klub yang mempunyai fans fanatik tanpa sikapp legowo yang mumpuni. Seringnya berakhir ricuh dan paling tidak ya berantem dikit lah.. heu... Saya memandangg hal ersebut dengan perasaan miris. Why? Hanya karena pertandingan sepak bola. Apalgi hanya sebagai penonton, suprter, fans atau apalah namanya...yang jelas bukan sebagai pemain utama... sampai rela berkelahi. Iya kalo hanya berkelahi dengan kata-kata, lha kalo sampai main fisik? Siapa yang rugi? Pemainnya? Oh come on, bukan dong ya... ya jelas penonton atau -apalah namanya, yang jelas bukan pemain utama- lah yang rugi. Sakit gitu loh dihantam fisiknya...
Bagi pihak klub yang menang, tidak lantas menjadikan mereka lebih mulia dari klub yang kalah. Dan sebaliknya, pihak klub yang kalah dalam pertandingan sepak bola. tidak juga menjadikan mereka hina di mata siapapun. Yang menjadikan suatu klub mulia, bisa jadi dua-duanya adalah, ketika mereka bermain dengan cara yang sportif dan fair play. Sedangkan suatu klub, bisa jadi juga dua-duanya, akan menjadi hina jika mereka bertindak semena-semaunya-tidak lagi memperdulikan aturan saat bertanding. Bukan skor akhirnya. Lalu bagaimana jika permainan sudah berjalan dengan baik, kan tetap ada pihak yang kalah atau menang? Ya kembali pada asas pertama. Tidak ada yang lebih mulia atau hina. Itu hanyalah permainan. Apa yang didapatkan? Kepuasan? Trus apa? Kebanggaan? Buat apa?
Kita berbaik sangka, mereka semua, baik pemain utama dan kru beserta penonton dkk yang muslim, tidak meninggalkan kewajiban shalat lima waktu. Semoga mereka tetap dimudahkan menjalankan kewajiban itu dan tidak terlena dengan keriangan permainan. Jika saat ramai-ramai itu justru menjadikan pembenaran 'tidak shalat lima waktu', itulah sejatinya definisi hina sebenarnya.
Kita berbaik sangka, mereka semua, baik pemain utama dan kru beserta penonton dkk yang muslim, tidak meninggalkan kewajiban shalat lima waktu. Semoga mereka tetap dimudahkan menjalankan kewajiban itu dan tidak terlena dengan keriangan permainan. Jika saat ramai-ramai itu justru menjadikan pembenaran 'tidak shalat lima waktu', itulah sejatinya definisi hina sebenarnya.
Saran saya sih, buat semua, termasuk diri saya sendiri.
Gak usah lebay suka ke sesuatu, dalam hal ini permainan sepak bola. Secukupnya saja.
Selayaknya artis, yang menjadikan mereka tenar (atau juga kaya), salah satunya adalah karena peran fans. Karena fans mereka mempunyai bargain position. Dianggap bagus. Padahal? Itu semua semu. Ya gak sih?
Ya terserah kalo ada yang bilang saya naif.
Yang jelas, saya pribadi sudah lumayan cukup tidak mempunyai 'idola' di dunia begitu. Kalo dulu, mungkin iya, saya pernah nge-fans sama BSB, Westlife, Winnie the Pooh, Micky Mouse, Raihan, Siti Nurhaliza (lahhh....) Alhamdulillah semua sudah berakhir.
Saya pernah suka bola. Pas piala dunia 2002. Udah gitu aja. Selebihnya tidak ada yang saya ingat kecuali Arab Saudi yang kalah telak dengan Jerman hingga 8-0 atau pemain tertentu seperti Klose dari Jerman atau Umit Davala yang nyentrik dari Turki (sampai nama boneka biksu say adulu dinamakan UD). Seru sih, ya pas itu aja. Tidak sampai tergila-gila.
Apalagi ketika tau bahwa sangat mengidolakan seseorang itu akan dekat pada syirik.
Kadang saya pikir kita ni generasi galau juga.
Di satu sisi, sangat peduli pada asap di Kalimantan Sumatra, tapi di sisi lain berlebih-lebihan merayakan sesuatu yang tidak urgen dan semu semacam epuhoria sepak bola ini. Kayak negara yang tidak ngepas. Ya itu tadi, LEBAY.
#dahgituaja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar