Pada syukuran di rumah baru rekan lingkaran cinta saya di KDW, kami berkesempatan mendengarkan pemaparan salah satu praktisi konseling anak dan remaja. Ibu Neneng namanya. Dalam usia yang masih tergolong muda dan produktif, 35 tahun, pengalaman beliau dalam menangani anak dan remaja sudah cukup luas. Walaupun mungkin kiprahnya tidak terlalu dikenal atau menjadi selebritis parenting di dunia maya.
Salah satu hal yang beliau sampaikan adalah mengenai fitrah anak.
Dari Abu Hurairah ra berkata, Rasulullah sholallaahu 'alaihi wasallam telah bersabda:
مَا مِنْ مَوُلُودٍ إِلاَّ يُوْلَدُ عَلىَ الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ، كَمَا تُنْتِجُ الْبَهِيْمَةُ بَهِيْمَةً جَمْعَاءَ هَلْ تُحِسُّونَ فِيْهَا مِنْ جَدْعَاءَ؟
“Tidaklah setiap anak yang lahir kecuali dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka kedua orangtuanyalah yang akan menjadikannya sebagai Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Seperti hewan melahirkan anaknya yang sempurna, apakah kalian?melihat darinya buntung (pada telinga?)
Bagaimana menurut kita, apakah yang disebut fitrah itu?
Sebagian besar kita mungkin menyatakan bahwa fitrah itu selayaknya : kertas putih. Anak yang baru lahir itu masih suci bagai kertas putih. Benar tidak?
Padahal manusia yang baru dilahirkan pun, sudah membawa bekal dari Allah. Bekal pengetahuan dan potensi dalam dirinya. Bagaimana kita menjelaskan, mengenai anak menangis ketika bar dilahirkan? Atau bagaimana si anak mengetahui cara menyusu? Bagaimana anak bisa merasa tidak nyaman? Bukankah hal itu menunjukkan bahwa mereka sebenarnya sudah dibekali pengetahuan dasar awal untuk hidup? Lantas mengapa banyak yang sepakat dengan pernyataan anak itu bagai kertas putih?
Yang bisa diibaratkan kertas putih itu adalah robot. Dia memang dari awal tidak tau apa-apa, dan siap diprogram sesuai kemauan programernya. Lha anak? Ternyata mereka kan punya kecenderungan, punya kesukaan, punya kebebasan untuk memilih yang ia sukai, dan sebagainya.
Fitrah anak, jika suatu waktu, ia merasa jengkel akan sesuatu hal atau kejadian yang dialaminya. Sikap kita sebagai orang tua yang pastinya lebih dulu lahir ke dunia ini adalah...menerimanya. Menerima kekesalan mereka dan membiarkan mereka sejenak melampiaskan kekesalannya. Sebaiknya, jangan langsung di-cut, diarahkan ke lain hal sesuai kemauan kita atau kepada sesuatu yang kita anggap benar. Biarkan dulu mereka mengeluarkan unegnya. Tentu kita temani juga dengan sikap °ya, kami sedang mendengarkanmu°.
Seringkali yang terjadi adalah, orang tua tidak membiarkan anak-anak untk melepas energi negatif yang sedang terjadi dalam dirinya. Sering, para orang tua memotong emosi mereka dan mulai banyak mrenasihati, seolah hal itu adalah solusi jitu untuk mengatasi masalah. Padahal, belum tau benar apa duduk masalahnya. Anak-anak mungkin saja menurut opada nasihat orang tuanya, tetapi jiwanya masih tetap kelam dan tidak mengerti akan sikap yang tepat jika kelak dihadapkan kembali pada masalah yang sama. Jiwanya tetap rapuh.
Alangkah baiknya, jika anak sudah mengeluarkan resah yang ia rasakan, barulah kita jaga fitrahnya. Fitrah kebaikan. Jangan lupa untuk mengusap mereka, anak-anak itu. Ketika emosi mereka mereda, barulah kita gali akar masalah sebenarnya. Kita posisikan diri sebagai fasilitator yang bukan menentukan jawaban. Tapi, 'mengejar' anak dengan pertanyaan retoris. Karena adakalanya, sering malah, anak-aak hanya perlu diarahkan pada solusi.
Tulisan ini masih abstrak sekali. Mungkin kita (saya) bisa langsung praktik ^^
Hal terpenting pula adalah, kita memang harus stok sabar dan tahan emosi sekuat mungkin. Pembentukan karakter dan akhlak yang baik itu bukan perkara mudah tidak juga sulit, bukan sebentar tapi bisa jadi juga tidak perlu lama-lama. Kita perlu terus mengembangkan metode yang pas, dengan pendekatan psikologi yang tepat; sesuai sasaran.
Ingat, bahwa anak telah membawa fitrah kebaikan dalam dirinya. Potensi baik atau buruk, itu harus tetap kita arahkan kepada akhlak mulia melalui pembiasaan sehari-haru, sejak dini. Sedini mungkin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar