Yang selalu membesarkan hatiku
Mengingatkan aku pada keindahan
Membuatku kagum dalam diam
Mencipta debardebar harapan
Mengenangkan masa kebersamaan
Tidak adakah dirimu
Yang nyata adanya
Yang benar tanpa cela (owh!)
Yang tersenyum penuh arti senantiasa
Yang membuatku mencinta
Yang memaksa keluar bulir-bulir haru
Yang mendesakku untuk menyunggingkan garis bibir termanis
Sungguh,
Aku rindu akan dirimu
Sangat rindu
Rindu sekali
Saat ini yang mampu kulakukan hanya
Menatap lamat
Mengintip sesekali
Menyimak perjalanan
Menyesal?
Andai tiada andai
Andai tak ada tidak ada
Andai kita bisa bersama
::ditulis dengan kerinduan yang sangat menyesakkan, hingga ia menjelmakata-kata. Inilah.
---Apa yang bisa ditangkap dari bait-bait puisi di atas?
Sebenarnya, itu ditulis saat saya memposisikan diri sebagai seorang kawan yang mengalami kegalauan akan perasaannya. Saya tidak tahu persis apa yang sedang dialaminya. Beliau sedang teringat masa lalu sebelum menikah dan –entah karena suatu sebab- saat ini dia sedang ingin saja mengenang masa saat dia menyukai seseorang yang menurutnya sangat baik dan sempurna (di matanya). Yang saya tangkap, ada semacam benih-benih penyesalan. Mengapa dia harus mengalami pernikahan yang –ternyata- banyak tersandung masalah, sering terjadi cekcok dengan pasangan maupun keluarganya, belum merasa bisa klop dengan pasangan, dan lain-lain.
Huff, gimana ya...Poin no body’s perfect, adalah suatu keniscayaan yang harus disadari penuh oleh dua manusia yang akan bersatu dalam pernikahan, apalagi jika pernikahan itu tidak melalui proses perkenalan yang panjang, lama, dan detil. eh gak juga ding, yang proses perkenalan pra nikahnya panjang-lama-detil, juga harus menyadari :p Kenapa? Ya karena tidak ada manusia yang sempurna, betul?
Kenangan akan masa lalu dan perhatian kita akan perkembangan teman-teman yang mungkin kita anggap lebih beruntung dari kita, akan membuat kita merasa ‘salah jalan’ / ‘salah pilih’ / ‘salah apalah apalah’, jika kita tidak bersyukur. Kuncinya adalah saling menerima dan saling memperbaiki.
Tanpa saling, memang akan terasa berat. Jika saat ini kita belum menemukan pola komunikasi yang pas, teruslah mencari cara agar komunikasi kita dengan pasangan dan keluarga bisa menghasilkan solusi dan meminimkan salah paham. Jika saat ini kita masih berat melepaskan kebiasaan lama yang memberatkan pasangan atau membuatnya tidak suka, teruslah berusaha untuk memperbaiki. Jika saat ini masih sering berantem karena urusan sepele, teruslah mencoba untuk meredam emosi, menenangkan diri, berpikir jernih, dan memilih sikap terbaik agar tidak saling melukai. dan seterusnya, masih banyak yang bisa dijalani bersama, dievaluasi bersama. In sya Allah, akan selalu ada jalan keluar. KECUALI, jika kita masih terus menjebakkan diri dalam angan masa lalu dan penyesalan melulu.
Memperlakukan kenangan dengan baik, bukankah itu seharusnya menguatkan? Memotivasi?Misalnya saja, kenangan akan masa kecil yang penuh keterbatasan, sering kesulitan ketika memenuhi keinginan, sering diganggu, atau katakanlah masa suram lain, maka seharusnya menjadi alasan kuat untuk terus berjuang memperbaiki keadaan, menjadi tidak minder karena memang harus menghadapi pilihan pahit –mau tidak mau-, atau menjadi penyayang kepada yang senasib. Tapi, akan berbeda jika kemudian memilih untuk malah berbuat jahat, membalas yang dulu pernah mengganggu, atau ikut-ikutan menyulitkan orang lain agar ikut berpengalaman merasakan kepedihannya dulu. Eh, gak pas ya contohnya, he he...
Okelah, atau contoh lainnya, kenangan akan orang yang baik, dampak positifnya untuk saat ini adalah mendorong kita untuk menjadi ikutan baik. Mengenang kawan yang baik hati, suka menolong, rajin berkarya, dan lain-lain, seharusnya kan mendorong kita untuk ikutan menjadi baik hati, suka menolong , rajin berkarya, dan lain-lain. Sebagaimana seorang atheis yang pernah bertanya, ‘mengapa muslim harus berdzikir, memuliakan Tuhannya, bukankah Tuhannya sudah mulia?’ Secara psikologis, manusia akan mengikuti yang di’puja’nya, yang di’mulia’kannya. Walaupun mungkin dalam kenyataannya belum menyamai atau masih ‘malas-malasan’.
Kenang-kenang
Jika itu berguna
Jangan mengenang
Jika itu memanjangkan angan saja
Kenyataan saat ini bersama siapa
Itulah kondisi terbaik yang harus kita syukuri dengan lapang dada
Manusia memang banyak ingin dan tempatnya alpa
Oleh karenanya, saling genggam tangan dan beriring meniti bahtera
Tidak ada komentar:
Posting Komentar