Siapa yang tidak kenal dengan lalat
buah? Sebagian besar masyarakat mengenal lalat yang dimaksud adalah lalat buah
kecil-kecil (Drosophila melanogaster).
Padahal yang berbahaya dan banyak menjadi masalah di pertanaman hortikultura,
terutama untuk komoditas buah dan sayur adalah dari jenis Bactrocera spp. atau Dacus
spp. dari Famili Tephritidae, subfamili Dacinae. Lalat Drosophila umumnya hadir ketika buah mulai lewat masa matang,
sedangkan lalat Bactrocera / Dacus biasanya
sudah laten berada di dalam buah sejak buah masih belum terlalu matang, bahkan
masih berada di pertanaman.
Salah satu sifat khas lalat buah adalah
hanya dapat bertelur di dalam buah. Telur tersebut kemudian menetas menjadi
larva/ulat yang dikenal dengan sebutan belatung. Stadium inilah yang merupakan
masa paling merusak dari lalat buah. Karena hidup di dalam buah, jelas
keberadaan larva akan merusak daging buah yang merupakan sumber makanannya,
sehingga dapat menyebabkan buah membusuk dan gugur. Konsumen buah sering kecewa
ketika mendapati buah yang akan dimakannya ‘berulat’, padahal tampilan luarnya
baik-baik saja. Hal ini ternyata juga berdampak buruk terhadap daya saing komoditas hortikultura Indonesia
di pasar internasional. Produk hortikultura dari Indonesia pun pernah ditolak
negara tujuan ekspor karena terindikasi mengandung larva lalat buah. Dengan
demikian, lalat buah dapat menyebabkan kerugian secara kualitas maupun
kuantitas bagi produk buah atau sayur.
Serangan lalat buah, terutama dari jenis
Bactrocera, dapat menyebabkan
kerugian yang sangat besar di pertanaman buah maupun sayuran, bisa mencapai 40-100%.
Daerah sebarannya juga cukup luas, mencakup sebagian besar negara di dunia,
dengan jenis/spesies yang berbeda-beda.
Gejala serangan lalat buah yaitu
biasanya terdapat lubang kecil di bagian tengah kulitnya. Serangan lalat
buah ditemukan terutama pada buah yang
hampir masak. Gejala awal ditandai dengan noda atau titik bekas tusukan
ovipositor (alat peletak telur, terdapat di ujung abdomen) lalat betina saat
meletakkan telur ke dalam buah. Selanjutnya, seiring perkembangan telur menjadi
larva dan aktivitas di dalamnya, menyebabkan noda tersebut semakin meluas dan
tampak membusuk.
Intensitas serangan dan populasi lalat
buah akan meningkat pada iklim yang sesuai. Suhu rendah sekitar 26oC
dan kelembapan tinggi sekitar 90% akan baik bagi lalat buah. Aktivitas lalat
buah akan lebih baik pada saat curah hujan rendah daripada saat curah hujan
tinggi.
Di Indonesia, lalat buah sebagai hama
telah diketahui sejak tahun 1920 dan dilaporkan menyerang pertanaman mangga di
Jawa. Pada tahun 1938, lalat buah juga dilaporkan menyerang cabai, kopi,
pisang, jambu, cengkeh, belimbing dan sawo. Hasil monitoring lalat buah yang
dilakukan pada tahun 1979/1980 menunjukkan bahwa lalat buah ditemukan hampir di
semua wilayah di Indonesia.
Awalnya, Indonesia dan negara lain
sering mengidentifikasi lalat buah yang banyak ditemukan di daerah
Asia-Pasifik, yaitu Dacus spp.
Tetapi, menurut klasifikasi terakhir yang dilakukan Prof. Dr. Dick Drew (entomolog
asal Australia) pada tahun 1989, dinyatakan bahwa lalat buah yang banyak
terdapat di Indonesia adalah dari jenis Bactrocera
spp.
Berdasarkan hasil identifikasi oleh
Prof. Dr. Dick Drew yang terbaru dalam buku
Fruit Flies of Indonesia: Their Identification, Pest Status and Pest
Management pada November 2012 lalu, terdapat 122 spesies lalat buah di Indonesia. Namun, dari jumlah
tersebut, hanya 11 spesies yang menjadi
hama penting. Lalat buah yang menjadi hama penting di Indonesia, yaitu: Bactrocera
albistrigata (de Meijere), Bactrocera carambolae (Drew &
Hancock), Bactrocera frauenfeldi (Schiner),
Bactrocera latifrons (Hendel), Bactrocera musae (Tryon),
Bactrocera occipitalis (Bezzi), Bactrocera papayae (Drew &
Hancock), Bactrocera umbrosa (Fabricius), Bactrocera caudata (Fabricius),
Bactrocera cucurbitae (Coquillett), dan Bactrocera tau (Walker).
Pengendalian lalat buah tergolong sulit
karena larva penyebab kerusakan berada di dalam daging buah, sedangkan imago
(lalat dewasa)nya bebas terbang. Telah banyak tindakan pengendalian yang
dilakukan untuk mengatasi permasalahan lalat buah, mulai dengan pengolahan
tanah (membalikkan tanah sebelum ditanami); melakukan rotasi tanaman; sanitasi
lahan; penggunaan teknologi jantan mandul, perangkap, zat penarik (atraktan), umpan
protein, insektisida nabati/kimia sintetis; pengasapan; pembungkusan buah; pengumpulan
dan pemusnahan buah gugur; dan sebagainya.
Dalam kaitan dengan tuntutan pasar
global yang mulai menginginkan produk bebas residu pestisida dan peningkatan
kesadaran masyarakat terhadap bahaya pestisida, serta menyesuaikan dengan
konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT), pengendalian lalat buah diarahkan untuk
dilakukan melalui pendekatan yang berdasarkan pada pertimbangan ekologi dan
efisiensi ekonomi dalam rangka pengelolaan agroekosistem yang bertanggung
jawab. Namun, ternyata mengandalkan konsep PHT saja belum cukup untuk
mengendalikan lalat buah. Evaluasi dalam tindakan pengendalian selama ini
adalah bahwa pengendalian lalat buah sering terbatas pada daerah pertanaman
(produksi) saja. Padahal, sifat lalat buah dewasa yang aktif bergerak (terbang)
dan cukup peka dalam mendeteksi keberadaan buah memungkinkan lalat buah untuk
menyebar ke daerah lain di luar pertanaman, misalnya pekarangan atau pemukiman
warga, pertanaman lain di sekitar pertanaman budidaya yang utama, serta kebun
terlantar. Dengan demikian, pengendalian lalat buah sebaiknya tidak hanya
dilakukan di daerah pertanaman utama saja. Tetapi juga mencakup daerah lain di
sekitar pertanaman utama. Konsep ini
dikenal dengan istilah pengelolaan lalat buah skala luas.
Pengertian skala luas diartikan sebagai
suatu wilayah pengendalian minimal seluas 100 ha. Dalam materi Sekolah Lapang
PHT juga dijelaskan bahwa semakin luas hamparan
atau kawasan pertanaman yang dikelola secara benar, kondisi agroekosistem akan
makin stabil. Disamping itu, jika manajemen PHT berjalan baik, maka akan
semakin tampak pengaruhnya terhadap perkembangan OPT. Pengelolaan lalat buah
skala luas mengadaptasi konsep tersebut dengan tidak hanya memfokuskan
pengendalian pada pertanaman utama, tetapi juga di daerah sekelilingnya.
Dengan PHT konvensional
yang selama ini dilakukan petani, lalat buah di pertanaman utama bisa saja
dikendalikan, tetapi lalat buah dari daerah sekitarnya yang tidak dikendalikan
akan datang dan berkembang kembali ke pertanaman utama. Dengan kata lain,
populasi hama akan kembali seperti semula. Pengendalian terbatas atau hanya
pada titik-titik tertentu di pertanaman utama tidak akan efektif karena kemampuan reproduksi, adaptasi dan
daya rusak lalat buah yang tinggi. Vegetasi sekitar pertanaman utama merupakan hunian bagi
lalat buah saat tidak terjadi musim buah yang sangat menunjang pertumbuhan dan
perkembangannya karena dapat memberikan makanan serta media kehidupan yang
sesuai, bebas dari suhu panas atau dingin, serta hujan lebat yang mengganggu
aktivitas lalat buah.
Pada pelaksanaan PHT lalat
buah yang disinergikan dengan konsep pengelolaan skala luas, lalat buah
dikendalikan di semua daerah; baik itu yang menjadi daerah pertanaman utama
maupun sekitarnya, sehingga potensi sumber inokulum lalat buah yang akan
kembali menyerang pertanaman utama dapat diminimalisir. Hal inilah yang diharapkan
akan menekan populasi total lalat buah.
Selain menerapkan
manajemen PHT dan konsep pengelolaan lalat buah skala luas, hal penting lain yang
perlu direncanakan dengan matang untuk menyukseskan pengendalian lalat buah adalah
koordinasi dan kerjasama antara petugas pengendali OPT dengan petani dan
masyarakat di area pengendalian. Aspek sosial ini memerlukan pengawasan berkala
dari petugas setempat. Metode pendekatan yang dilakukan di masing-masing
wilayah pengendalian bisa saja berbeda, bisa dimodifikasi dan harus
mempertimbangkan kebiasaan dan pola interaksi masyarakat. Belajar dari
pengalaman negara lain; semisal petani Barbados Cherry di Vietnam atau lalat
buah jeruk di Australia; kebersamaan, komitmen dan disiplin petani/kelompok
tani merupakan kunci utama keberhasilan penerapan pengelolaan dengan konsep
skala luas.
Di
Indonesia, pengelolaan lalat buah skala luas belum terlalu populer. Konsep ini
mulai dicoba diterapkan di pertanaman mangga dan jeruk. Teknologi yang
dilakukan menggunakan perpaduan antara perangkap lalat buah dengan zat atraktan
serta penggunaan umpan protein yang disebar di pertanaman dan daerah
sekitarnya. Perangkap lalat buah dipasang di pertanaman utama, kebun terlantar,
termasuk pemukiman warga. Dengan demikian, masyarakat sekitar pertanaman yang
bertani maupun tidak, secara tidak langsung dilibatkan dan juga mendapatkan
penjelasan mengenai sifat dan bahaya lalat buah sehingga diharapkan tumbuh
kesadaran bersama dari masyarakat untuk berperan aktif dalam upaya pengendalian
lalat buah di daerahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar