nellysapta

nellysapta
kering berseri (rimbo pengadang-lebong-bengkulu 2014)

Senin, 02 Juni 2014

LALAT BUAH DI INDONESIA DAN STRATEGI PENGENDALIANNYA

Siapa yang tidak kenal dengan lalat buah? Sebagian besar masyarakat mengenal lalat yang dimaksud adalah lalat buah kecil-kecil (Drosophila melanogaster). Padahal yang berbahaya dan banyak menjadi masalah di pertanaman hortikultura, terutama untuk komoditas buah dan sayur adalah dari jenis Bactrocera spp. atau Dacus spp. dari Famili Tephritidae, subfamili Dacinae. Lalat Drosophila umumnya hadir ketika buah mulai lewat masa matang, sedangkan lalat Bactrocera / Dacus biasanya sudah laten berada di dalam buah sejak buah masih belum terlalu matang, bahkan masih berada di pertanaman.

Salah satu sifat khas lalat buah adalah hanya dapat bertelur di dalam buah. Telur tersebut kemudian menetas menjadi larva/ulat yang dikenal dengan sebutan belatung. Stadium inilah yang merupakan masa paling merusak dari lalat buah. Karena hidup di dalam buah, jelas keberadaan larva akan merusak daging buah yang merupakan sumber makanannya, sehingga dapat menyebabkan buah membusuk dan gugur. Konsumen buah sering kecewa ketika mendapati buah yang akan dimakannya ‘berulat’, padahal tampilan luarnya baik-baik saja. Hal ini ternyata juga berdampak buruk terhadap  daya saing komoditas hortikultura Indonesia di pasar internasional. Produk hortikultura dari Indonesia pun pernah ditolak negara tujuan ekspor karena terindikasi mengandung larva lalat buah. Dengan demikian, lalat buah dapat menyebabkan kerugian secara kualitas maupun kuantitas bagi produk buah atau sayur.

Serangan lalat buah, terutama dari jenis Bactrocera, dapat menyebabkan kerugian yang sangat besar di pertanaman buah maupun sayuran, bisa mencapai 40-100%. Daerah sebarannya juga cukup luas, mencakup sebagian besar negara di dunia, dengan jenis/spesies yang berbeda-beda.

Gejala serangan lalat buah yaitu biasanya terdapat lubang kecil di bagian tengah kulitnya. Serangan lalat buah  ditemukan terutama pada buah yang hampir masak. Gejala awal ditandai dengan noda atau titik bekas tusukan ovipositor (alat peletak telur, terdapat di ujung abdomen) lalat betina saat meletakkan telur ke dalam buah. Selanjutnya, seiring perkembangan telur menjadi larva dan aktivitas di dalamnya, menyebabkan noda tersebut semakin meluas dan tampak membusuk.

Intensitas serangan dan populasi lalat buah akan meningkat pada iklim yang sesuai. Suhu rendah sekitar 26oC dan kelembapan tinggi sekitar 90% akan baik bagi lalat buah. Aktivitas lalat buah akan lebih baik pada saat curah hujan rendah daripada saat curah hujan tinggi.

Di Indonesia, lalat buah sebagai hama telah diketahui sejak tahun 1920 dan dilaporkan menyerang pertanaman mangga di Jawa. Pada tahun 1938, lalat buah juga dilaporkan menyerang cabai, kopi, pisang, jambu, cengkeh, belimbing dan sawo. Hasil monitoring lalat buah yang dilakukan pada tahun 1979/1980 menunjukkan bahwa lalat buah ditemukan hampir di semua wilayah di Indonesia.

Awalnya, Indonesia dan negara lain sering mengidentifikasi lalat buah yang banyak ditemukan di daerah Asia-Pasifik, yaitu Dacus spp. Tetapi, menurut klasifikasi terakhir yang dilakukan Prof. Dr. Dick Drew (entomolog asal Australia) pada tahun 1989, dinyatakan bahwa lalat buah yang banyak terdapat di Indonesia adalah dari jenis Bactrocera spp.

Berdasarkan hasil identifikasi oleh Prof. Dr. Dick Drew yang terbaru dalam  buku Fruit Flies of Indonesia: Their Identification, Pest Status and Pest Management pada November 2012 lalu, terdapat 122 spesies lalat buah di Indonesia. Namun, dari jumlah tersebut, hanya 11 spesies yang menjadi hama penting. Lalat buah yang menjadi hama penting di Indonesia, yaitu: Bactrocera albistrigata (de Meijere), Bactrocera carambolae (Drew & Hancock), Bactrocera frauenfeldi  (Schiner), Bactrocera latifrons (Hendel), Bactrocera musae (Tryon), Bactrocera occipitalis (Bezzi), Bactrocera papayae (Drew & Hancock), Bactrocera umbrosa (Fabricius), Bactrocera caudata (Fabricius), Bactrocera cucurbitae (Coquillett), dan Bactrocera tau (Walker).

Pengendalian lalat buah tergolong sulit karena larva penyebab kerusakan berada di dalam daging buah, sedangkan imago (lalat dewasa)nya bebas terbang. Telah banyak tindakan pengendalian yang dilakukan untuk mengatasi permasalahan lalat buah, mulai dengan pengolahan tanah (membalikkan tanah sebelum ditanami); melakukan rotasi tanaman; sanitasi lahan; penggunaan teknologi jantan mandul, perangkap, zat penarik (atraktan), umpan protein, insektisida nabati/kimia sintetis; pengasapan; pembungkusan buah; pengumpulan dan pemusnahan buah gugur; dan sebagainya.

Dalam kaitan dengan tuntutan pasar global yang mulai menginginkan produk bebas residu pestisida dan peningkatan kesadaran masyarakat terhadap bahaya pestisida, serta menyesuaikan dengan konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT), pengendalian lalat buah diarahkan untuk dilakukan melalui pendekatan yang berdasarkan pada pertimbangan ekologi dan efisiensi ekonomi dalam rangka pengelolaan agroekosistem yang bertanggung jawab. Namun, ternyata mengandalkan konsep PHT saja belum cukup untuk mengendalikan lalat buah. Evaluasi dalam tindakan pengendalian selama ini adalah bahwa pengendalian lalat buah sering terbatas pada daerah pertanaman (produksi) saja. Padahal, sifat lalat buah dewasa yang aktif bergerak (terbang) dan cukup peka dalam mendeteksi keberadaan buah memungkinkan lalat buah untuk menyebar ke daerah lain di luar pertanaman, misalnya pekarangan atau pemukiman warga, pertanaman lain di sekitar pertanaman budidaya yang utama, serta kebun terlantar. Dengan demikian, pengendalian lalat buah sebaiknya tidak hanya dilakukan di daerah pertanaman utama saja. Tetapi juga mencakup daerah lain di sekitar pertanaman utama. Konsep  ini dikenal dengan istilah pengelolaan lalat buah skala luas.

Pengertian skala luas diartikan sebagai suatu wilayah pengendalian minimal seluas 100 ha. Dalam materi Sekolah Lapang PHT juga dijelaskan bahwa semakin luas hamparan atau kawasan pertanaman yang dikelola secara benar, kondisi agroekosistem akan makin stabil. Disamping itu, jika manajemen PHT berjalan baik, maka akan semakin tampak pengaruhnya terhadap perkembangan OPT. Pengelolaan lalat buah skala luas mengadaptasi konsep tersebut dengan tidak hanya memfokuskan pengendalian pada pertanaman utama, tetapi juga di daerah sekelilingnya.

Dengan PHT konvensional yang selama ini dilakukan petani, lalat buah di pertanaman utama bisa saja dikendalikan, tetapi lalat buah dari daerah sekitarnya yang tidak dikendalikan akan datang dan berkembang kembali ke pertanaman utama. Dengan kata lain, populasi hama akan kembali seperti semula. Pengendalian terbatas atau hanya pada titik-titik tertentu di pertanaman utama tidak akan efektif karena kemampuan reproduksi, adaptasi dan daya rusak lalat buah yang tinggi. Vegetasi sekitar pertanaman utama merupakan hunian bagi lalat buah saat tidak terjadi musim buah yang sangat menunjang pertumbuhan dan perkembangannya karena dapat memberikan makanan serta media kehidupan yang sesuai, bebas dari suhu panas atau dingin, serta hujan lebat yang mengganggu aktivitas lalat buah.

Pada pelaksanaan PHT lalat buah yang disinergikan dengan konsep pengelolaan skala luas, lalat buah dikendalikan di semua daerah; baik itu yang menjadi daerah pertanaman utama maupun sekitarnya, sehingga potensi sumber inokulum lalat buah yang akan kembali menyerang pertanaman utama dapat diminimalisir. Hal inilah yang diharapkan akan menekan populasi total lalat buah.

Selain menerapkan manajemen PHT dan konsep pengelolaan lalat buah skala luas, hal penting lain yang perlu direncanakan dengan matang untuk menyukseskan pengendalian lalat buah adalah koordinasi dan kerjasama antara petugas pengendali OPT dengan petani dan masyarakat di area pengendalian. Aspek sosial ini memerlukan pengawasan berkala dari petugas setempat. Metode pendekatan yang dilakukan di masing-masing wilayah pengendalian bisa saja berbeda, bisa dimodifikasi dan harus mempertimbangkan kebiasaan dan pola interaksi masyarakat. Belajar dari pengalaman negara lain; semisal petani Barbados Cherry di Vietnam atau lalat buah jeruk di Australia; kebersamaan, komitmen dan disiplin petani/kelompok tani merupakan kunci utama keberhasilan penerapan pengelolaan dengan konsep skala luas.

Di Indonesia, pengelolaan lalat buah skala luas belum terlalu populer. Konsep ini mulai dicoba diterapkan di pertanaman mangga dan jeruk. Teknologi yang dilakukan menggunakan perpaduan antara perangkap lalat buah dengan zat atraktan serta penggunaan umpan protein yang disebar di pertanaman dan daerah sekitarnya. Perangkap lalat buah dipasang di pertanaman utama, kebun terlantar, termasuk pemukiman warga. Dengan demikian, masyarakat sekitar pertanaman yang bertani maupun tidak, secara tidak langsung dilibatkan dan juga mendapatkan penjelasan mengenai sifat dan bahaya lalat buah sehingga diharapkan tumbuh kesadaran bersama dari masyarakat untuk berperan aktif dalam upaya pengendalian lalat buah di daerahnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar