“Ala bisa karena…?”
pertanyaan itu meluncur dari pak Charles, guru Fisika SMP kelas 3. Dulu. Saat saya baru memulai pengalaman menjadi siswa baru di kelas 3.4 ~~ Ayah pindah, saya pun pindah sekolah. Dari Argamakmur-Bengkulu Utara ke Kotamadya Bengkulu.
Aih.. masih lekat di ingatan. Kepindahan itu saat sedang dalam masa gundah. Saya yang baru mulai bersahabat ala-ala ‘BFF’ dan memasuki dunia penuh romansa remaja. Bukan sebagai pelaku utama. Saya lebih memilih menjadi pemeran pendukung dan tetap tenggelam dalam posisi ‘pengamat’ ‘penasihat yang tidak berpengalaman, hanya mengandalkan rasa-rasa-rasa’. Kadang juga mendadak jadi pemandu sorak kawan-kawan. haha.. Tapi, ternyata banyak hikmah atas kepindahan saya yang tiba-tiba itu. Saya bersyukur dijauhkan dari kesempatan yang pasti akan membuat jalan cerita berbeda untuk saya hingga saat ini.
Kembali ke pertanyaan ‘Ala bisa karena…?” dari pak Charles; yang ternyata dikenal sebagai sosok guru ‘killer’ di kalangan siswa SMP baru saya itu. Dulu.
Galak.
Suka ngasi hukuman.
Kalo salah siap-siap ditabok mistar kayu. Mistar kayu yang dalam dua tiga tabokan bisa patah plus memberi bekas merah yang tahan lama pada objek penderitanya.
Buku harus 4: catatan, latihan, PR, ulangan. Yang ke-4nya belum tentu dipakai tiap pertemuan tapi tetap WAJIB dibawa. Berani ditinggal, rasakanlah apa yang dulu pernah saya rasakan: balik pulang, ambil yang ketinggalan! (waktu itu sengaja tidak saya bawa buku PR dan ulangannya karena gak ada PR dan gak ada kabar ulangan. dan benar saja, walau udah diambil dan dibawa ke kelas lagi, gak ada ulangan! walau ada PR untuk minggu depan.. ow owww)
Omongannya pedih. Bisa keluar sebutan bangsa primata atau semacam itulah…
Satu-satu siswa ditanya, dari depan ujung kanan. Saya optimis tidak sampai ke giliran saya, Tapi, sampai siswa manis di sebelah saya pun gak bisa menjawab. Saya di posisi ujung belakang, dapat giliran jawab terakhir. “Ala bisa karena BIASA, pak”, jawab saya lancar tapi bernada tidak yakin, ragu, heran. ‘ada apa ini sebenarnya?’
“yap, itu baru benar!”
Alamak!
Sebenarnya apa istimewanya pertanyaan itu. Kenapa semua teman-teman saya di kelas tidak bisa menjawab. Saya berasa mengambang, mimpi setengah sadar. Ini beneran? Astaga, padahal ini SMP dikenal nomor 1 di Bengkulu, kala itu. Favorit. Hanya yang nilainya unggul bisa masuk. ‘Ala bisa karena biasa’ gak ada yang pernah dengar? Ataukah teman-teman ni lupa mendadak karena saking gugupnya menghadapi pak Charles? Bisa juga tapi kompak begitu… Alamak!
Sejak itu pula, saya, si anak baru dikenal dan diingat pak Charles, bahkan tidak segan beliau mengungkit-ungkit kejadian itu di depan kelas *dan di kelas lain* bahwa hanya saya yang bisa menjawab pertanyaan pembukanya itu. Sejak itu pula saya jadi perbincangan anak kelas 3 dan tiba-tiba dapat cap ‘anak kesayangan pak Charles’. Yanti, si anak baru, dari kota mati di bagian utara Bengkulu, yang suasana maghribnya bagaikan tengah malam di daerah lainnya; siswa pindahan dari daerah nun di situ, bisa banyak menjawab pertanya pak Charles, baik itu tentang Fisika maupun tentang yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan bahan ajar beliau. Walaupun sebenarnya saya pernah juga nyicip mistar kayu satu meter yang selalu dipegang pak Charles sepanjang jam pelajarannya. *mungkin rasanya seperti sedang memegang senjata laras panjang andalan dan beliau adalah prajurit penjaga harta karun*
Tak jadi soal. Anak dari daerah bukan kota memang sudah sering mendapat pandangan sebelah mata sebagai orang udik tak tau perkembangan zaman. Perbincangan tentang saya tidak berhenti sampai Fisika saja, tapi sejak pengumuman juara kelas, tambah ramailah “Kok bisa anak itu jadi juara 1?” “Nilainya menyamai yang di kelas 3.1 dan 3.2 tuh”
Oioi, padahal apa yang berbeda selain tempat dan kesempatan? Pelajaran yang kami dapatkan adalah sama dengan yang diberikan ke siswa kota, hanya saja mungkin fasilitas dukungannya yang berbeda. Keinginan belajar kami pun sama dengan siswa di kota, hanya saja mungkin kesempatan yang belum sama. Seandainya fasilitas dan kesempatan dll sama, bisa jadi kita benar-benar layaknya saudara kandung yang mendapat umpan sama dari orang tuanya. Eh umpan…hehe… panas oi awak…
Sudahlah, tidak usah dibahas tetek bengek sakit hati dan praduga yang menyalah-nyalahkan orang lain tu. Saya stop dan kembali larut dalam kenangan yang tersirat dari pertanyaan pak Charles,”ALA BISA KARENA BIASA”. Saya menangkap itu sebagai motivasi bagi para siswa, yang walaupun sudah terlanjur termakan doktrin bahwa beliau adalah guru yang ‘paling ditakuti’ di sekolah, agar kami tidak terjebak dalam metode pembelajaran yang melulu serba menghapal tanpa mengerti benar, supaya kami sering berlatih sehingga dapat memahami bahasan tanpa terkungkung dengan ‘sudah begitulah adanya’, tidak terjebak dan kalut saat menghadapi persoalan yang ‘serupa tapi tak sama’, atau mampu mengotakatik rumus sampai bertemu jalan yang pas untuk menjawab pertanyaan. Pendek kata, agar pelajaran yang ia berikan nempel ke siswanya di luar kepala.
Biasakan sampai bisa. Akan saya ingat selalu, pak.
::cerita ini mengandung fiksi yang fakta heheh::