nellysapta

nellysapta
kering berseri (rimbo pengadang-lebong-bengkulu 2014)

Sabtu, 10 Oktober 2020

Waktu Terbaik untuk Posting di TikTok, Terutama Selama Pandemi Coronavirus

Konten berkualitas tinggi dan berbeda dapat meningkatkan merek Anda untuk menjangkau banyak penonton. Namun, seperti yang telah dibahas di artikel kami tentang algoritma TikTok, ada banyak faktor lain yang berkontribusi pada kesuksesan Anda dalam pemasaran TikTok. Salah satu faktor terpenting yang perlu Anda pertimbangkan adalah waktu posting Anda. 

Waktu posting yang baik akan membantu konten Anda ditemukan oleh sekelompok audiens yang terlibat, ini akan memungkinkan algoritma untuk mendorong konten Anda ke audiens yang lebih luas. Akibatnya, posting pada yang tidak strategis akan membebani konten Anda karena keterlibatan awal dan posting Anda tidak akan ditampilkan kepada audiens yang besar. 

Ini kemudian menimbulkan pertanyaan mengenai kapan waktu terbaik untuk memposting di TikTok? Kami akan menunjukkan kepada Anda studi apa yang telah ditunjukkan dan bagaimana menentukan waktu terbaik untuk memposting di TikTok berdasarkan audiens dan target pasar Anda.

Selengkapnya dapat di tautan ini

Senin, 20 Agustus 2018

Wajahmu dalam Mimpiku

kulihat wajahmu dalam mimpiku
wajah yg sama
seperti yang sedang kurindu

kulihat wajahmu dalam mimpiku
persis, wajah yang dulu selalu mengingatkanku akan surga
mengingatkanku akan arti kejujuran, ketulusan, pengertian, perjuangan, dan kecintaan pada Ilahi

kulihat wajahmu dalam mimpiku
beberapa hari ini
saat penat memggerayangi pikiranku
mengerem kelincahanku
mematahkan semangatku
kau tibatiba datang
benarbenar tanpa kuundang

kau datang begitu saja dalam mimpiku
apakah kau juga menyadari
bahwa saudaramu yang payah ini
sedang kebingungan
lebih parah dari sekedar linglung
apakah kau yang nun jauh di sana, ditambah lama pula kita tak bersua, masih mengingatku?
apakah kau juga merasakan kerinduan yang sama denganku?
apakah kau masih bertahan seperti dulu?

wajahmu yang datang dalam mimpiku
begitu tenang,
sangat tentram,
pun seolah menatap tajam pada sosokku yang sekarang.
padahal kau sangat tau bahwa
aku,
cukup dengan lirikanmu yang serupa gadis pingitan ingin berjumpa kekasih segera esok hari saat berjanji suci
aku sudah paham

kawan,
wajahmu sungguh
menamparku

kawan,
harusnya cukup dengan membuka kenangan wajah-wajah kalian kala itu
sudah mampu menguatkanku
tapi ternyata belum cukup

maka inilah segenap kesadaranku mengakui
ternyata kau hadir dalam mimpimimpiku
untuk merangkulku kembali
memelukku lama beberapa jam dalam lelap nan tenang tanpa interupsi
membiarkan agar aku benarbenar berhasil meraih energi
untuk kembali bugar saat kembali kubuka mataku

wajahmu yang hadir dalam mimpiku,
TERIMA KASIH

00:22 / 21 Agustus 2018
ditemani rindu yang amat menyengat

Minggu, 17 Juni 2018

Maaf dan Syukur

maaf,
apa yang terbesit dalam lintasan hatimu mengenai 'maaf'?
.
.
pernahkah, kau meminta atau memberikan 'maaf'? baik pada dirimu sendiri atau orang lain
atau pada tanaman-tanaman yang sengaja/tidak kau injak-petik lalu rusak
pada langit yang sering kau pandangi diam-diam
pada hujan yang sering kau salahkan
pada makanan yang kau cela terus-terusan
pada waktumu yang bukan sekali dua, kau buang-buang
pada jalanan macet yang kau bilang mengganggu rencanamu tiba di suatu tempat tepat waktu
pada subuhmu yang melulu terlambat, atau terlewat?
pada pagi yang memaksamu bertemu kembali dengan aktivitas yang sama: kerja kerja kerja
pada terik matari yang membuatmu berkeringat dan pusing kepala
pada perutmu yang selalu merasa lapar dan dahaga yang tak berkesudahan
pada mulutmu yang tidak mau sinkron dengan pikiranmu ketika mengeluarkan kata
pada perasaan gugupmu saat perlu berbicara dengan banyak orang
pada kakakmu, adikmu, yang kau anggap lebih disayang
pada keluargamu yang tidak lupa dan bosan menanyakan si dia -yang bahkan kau sendiri pun tak tahu-, setiap kali bertemu
pada masa, yang kau rasakan begitu cepat berlalu
pada kesedihan-kesedihan, yang menutupi kebahagiaan-kegembiraan yang baru saja hendak kau nikmati seorang diri
pada sekian banyak hal lainnya, yang tak mampu dirinci walau ditulis sepanjang hidupmu
.
.
pernahkah kau sejenak tadabburi
bahwa sejalan dengan 'maaf' itu
ada tak hingga 'syukur' yang sering kau abaikan

~ba'da subuh, lebaran hari ke-4~

Rabu, 09 Mei 2018

Menjadi Blogger

Apakah menjadi blogger itu mempunyai syarat-syarat tertentu? Entahlah. Saya sendiri tidak terlalu ambil pusing dengan istilah itu. Saya tidak perduli apakah saya termasuk blogger atau bukan. Yang jelas saya hanya ingin menulis. Menulis untuk ... *nah bingung untuk apa* 
Untuk diri sendiri
Untuk orang lain yang kebetulan singgah dan membaca tulisan centang perenang ala saya
Untuk sekedar meluahkan apa yang ada dalam hati
Untuk menyatakan sikap
Untuk belajar
Untuk mengisi kekosongan
Untuk memberanikan diri
Untuk.... Ah saya juga gak mau ambil pusing ini blog untuk apa. Haha.
*random banget*
Sebenarnya juga gak mau ambil pusing dengan pilihan kata yang tertulis dalam blog super sederhana ini. Gak peduli dengan konsep apa yang mau dipamerkan di sini. Gak peduli tagging/label apa yang perlu dipilah di sini. Gak peduli...gak peduli..gak peduli...
Tapi justru tulisan sebelum ini menunjukkan kerisauan saya akan ketidakpedulian saya pada pengakuan bahwa saya tidak peduli. 

Saya hanya bertanya sambil menulis ini. Ya, bertanya pada diri sendiri *atau pada yang kebetulan singgah membaca*, apakah harus ada batasan dalam mengisi blog ini? Apakah harus ada pengelolaan khusus. Jawabannya bisa pendek dan bisa meluas kemana-mana. Tergantung isi kepala dan kondisi hati saya -sebagai penulis- saat ini haha. 

Menurut saya, menulislah setulusnya. Menulislah untuk mengasah otak, untuk belajar mengelola emosi, untuk merasai dan menikmati sensasi keraguan yang tiba-tiba datang saat hendak menulis-sedang menulis-akan menayangkan tulisan *apakah akan ditayangkan, disimpan, atau dihapus*, untuk menyadari bahwa ternyata kata-kata yang kita tumpahkan banyak yang tidak efektif-efisien-bermanfaat sehingga kita berulangkali harus menulis-kemudian menghapus-lalu menuliskan kembali kata/kalimat yang sama dengan sebelumnya atau menggantinya dengan kata/kalimat baru yang lebih terasa 'pas', untuk mencari-cari dan memilah kata yang tepat untuk menggambarkan apa yang sebenarnya ingin kita sampaikan dalam tulisan kita *sehingga kita eh bukan..orang-orang yang kebetulan singgah membaca --> kan lagi-lagi perasaan bahwa akan ada orang yang -entah siapa- akan membaca tulisan acakadut kita yang mau tidak mau ikut kita masukkan dalam berbagai pertimbangan dalam proses menyusun tulisan <--, untuk menayangkan tulisan ini kemudian mengulang membacanya lalu mengeditnya lagi dan ditayangkan lagi dst. 

Ah sudahlah.
Tampaknya semakin ingin saya menjelaskan melalui tulisan, semakin semrawut dan tidak beraturan tulisan ini. Semakin memprihatinkan. Semakin terkuak antara judul dengan isi tulisan tidak berhubungan sama sekali. Ckck...

Tapi, nanti-nanti, besok-besok, jangan kapok menulis lagi ya. 
Lanjutkan...lanjutkan...lanjutkan...

Rumusnya tetap sama kok: TULIS-TULIS-TULIS!
100518~02:36 

Berubah


Ada banyak hal yang berubah. Sungguh terasa. Sebenarnya sudah lama. Entah, saya sendiri seolah tidak mau mendengarkan teriakan dan bisikan-bisikan hati yang mengatakan ini itu ngunu ngene mrene mrono. Argh.. ya, padahal hati sendiri.

Menulis, seperti sesuatu hal yang dilakukan. Seperti kita tidak pernah kenal sebelumnya. Sepertinya sedang kesemutan,  ba-al, mati rasa atau apalah namanya. Intinya KELU. Bukan tentang ide. Tapi tentang menulis itu sendiri yang tidak diiringi dengan aktivitas menulis. Tidak menghasilkan apa—apa selain kebingungan yang bercabang kemana-mana.

Rindu. Ya rasanya seolah sedang merindukan sesuatu memang. Tapi tidak tahu apa yang sedang dirindukan. Gak enak kan? Kepala kliyengan, mata berkunang-kunang *ini serius* tapi tetap tegar dan berbinar-binar saja kata orang-orang. Ugh, mereka tak tau rasanya ekstrovert yang harus berdiam diri lama tak bisa kemana-mana. Dipaksa menjadi introvert yang justru aktif saat sedang sendiri.

Tengah malam lewat sudah. Tapi tak bisa juga mata ini dipejamkan. Tetap saja terbayang banyak hal yang harusnya sudah selesai tetapi masih terkungkung dalam angan.

Kembali pada BERUBAH. Harusnya ke arah yang lebih baik ya Nel. Harusnya sudah khatam pembahasan kita pada apa yang menjadi cita-cita hakikimu. Harusnya sudah tidak ada kemalasan berbalut excuse dalam mencapainya. Harusnya hari-harimu diisi demi menguatkan langkah ke depan. Harusnya tidak ada pikiran pesimis sebelum benar-benar kau uji rencanamu.

--
Ini bukan keluhan. Ini adalah pengobatan. 
10 Mei 2018 ~ 02:03 WIB

Selasa, 28 November 2017

Rasional (qq Pestisida)

Sebenarnya, lebih rasional mana antara petani dengan pengamat petani? Ataukah dua subjek tersebut tidak bisa dibandingkan?

Banyak klaim yang menyebutkan bahwa petani kita sering bertindak tidak rasional, misalnya saat mengaplikasikan pestisida di lahan budidayanya. Petani sering mencampur beberapa jenis (maksudnya merk dagang) pestisida dengan takaran semaunya, sesuai 'feeling'. Selain itu, petani juga terkesan emosi: menyemprot tanpa memperhatikan halus kasar droplet, sesuai rekomendasi pada label atau tidak... yang penting hama atau penyakit yang menyerang pertanamannya segera enyah dari muka bumi. Ckck...

Namun, bagaimana halnya dengan pengamat petani? Sesuai namanya, mereka lebih banyak mengamati sikap dan perilaku petani dalam melakukan budidaya tanaman. Mereka lebih banyak mengomentari 'petani kok begini begitu.. harusnya begini begitu', 'wah, yang dilakukan petani itu kurang tepat', 'tindakan seperti itu bisa membahayakan petani sendiri, tanamannya, maupun lingkungan sekitarnya' bla bla bla.. tanpa benar-benar merasakan secara utuh sebagaimana yang dirasakan petani saat mengusahakan pertanaman di lahannya dapat menghasilkan produk yang sesuai harapan, baik itu kuantitas maupun kualitasnya.

Apakah berhak pengamat petani sebagai 'orang luar' untuk menjudge petani tidak rasional?

Sebanarnya ada pihak lain sih, misalnya peneliti, pemerintah, atau konsumen produk petani. Tapi, tetap saja mereka adalah 'orang luar' yang lagi-lagi juga tidak merasakan beban, tekanan, dan harapan petani. 'Orang luar' lebih banyak 'menuntut' petani untuk melakukan ini itu sesuai harapan mereka, sesuai dengan hasil penelitian mereka, sesuai dengan rencana mereka. 

Bisakah kita sedikit berempati dengan apa yang dialami petani?
Bagaimana jika kita berada di posisi mereka?
Salahkah jika mereka berusaha mati-matian menjaga kondisi pertanamannya agar tetap 'sehat' dan mampu menghasilkan produk sesuai harapan mereka?
Apakah ada jaminan dari 'orang luar' tadi untuk mengganti kerugian materi (waktu, pemikiran, tenaga, uang) jika pertanamannya gagal panen?

Bagaiman menurut Anda, pembaca?

Ataukah pertanyaan yang saya ajukan di awal memang salah, tidak tepat?
Perlukan mengganti pertanyaan?
Atau kita akan membahas permasalahan ini dari lingkup yang lebih luas?

Bingung.
Namun, pada intinya, saya kurang terlalu setuju saat kita menjudge petani 'tidak rasional' dalam usahataninya. Sesungguhnya merekalah orang yang benar-benar menuangkan pikiran dan energi untuk menjaga pertanamannya. Bukan kita, 'orang luar'. Mereka sungguh rasional.

Hanya saja, memang rasionalitas model demikian tidak dapat dibiarkan begitu saja. Itulah peran kita sebagai 'orang luar' untuk memberikan sumbang saran dan pengalaman berdasarkan beragam percobaan dan diskusi panjang demi memperbaiki dampak rasionalitas petani tersebut bagi keberlanjutan pertanian kita di masa depan.

'Orang luar' perlu menjelaskan dan membuka fakta dampak merugikan dari penggunaan pestisida yang tidak tepat dan bijaksana. Awal mula penggunaan pestisida pastilah menghasilkan rekomendasi pemakaian yang telah melalui banyak uji coba. Akan menjadi masalah jika ternyata pada level pengguna akhir -dalam hal ini petani- tidak memanfaatkan pestisida sesuai arahan yang tertuang dalam label pestisida. Jika kemudian terjadi masalah besar dalam hal ekologi maupun sosial ekonomi, maka kita juga tidak dapat menuding pestisida sebagai penjahatnya. 

Ternyata seluruh pihak yang berkaitan dengan pestisida tidak dapat saling tuduh dan menyalahkan. Masalah besar sudah di depan mata. Saat ini yang harus dilakukan adalah menyadari posisi dan peranan masing-masing, serta mempelajari bagaimana seharusnya bertindak dalam menggunakan pestisida. 

Pada akhirnya, jika semua telah mengetahui dan melakukan tindakan yang tepat dan bijaksana dalam menggunakan pestisida, maka baik petani maupun pengamat petani adalah orang-orang yang RASIONAL. Benar.

Minggu, 24 September 2017

Hafiz Talking Doll untuk TsaZha

"Abi sayaaaang sama Tsaqif", Tsaqif akhir-akhir ini suka bilang gitu haha.. Kebalik nang... Kalo Tsaqif yang ngomong, harusnya, "Tsaqif sayaaang sama Abi" xD Tapi gapapa... Bener semua kok. Abi sayang Tsaqif, dan sebaliknya. Jangan lupa, sayang sama dedek Zhafran dan Ummina juga yaaa... Haha...

Itu boneka hafiz talking doll suka direbutin dua balita Tsa-Zha. Mereka punya edisi hafiz talking doll versi pertama. Ya nang, umma dan aba memberikan boneka hafiz agar kalian mulai mengenal ayat-ayat Allah dari pendengaran kalian. Selain tentu saja, kami juga perlu memperdengarkan langsung dan memberikan contoh pada kalian.

Sebenarnya, kami juga masih belajar. Ketika kalian mendengarkan, kami pun merasakan manfaatnya. Belum lagi, ada banyak kisah teladan yang bisa sama-sama kita ambil kebaikannya, sebagai nasihat bagi kita. Sejarah orang-orang terdahulu adalah pelajaran yang sangat berharga ^^

Selain itu, kalian juga bisa menyimak do'a-do'a harian dan asmaul husna yang diperdengarkan hafiz talking doll. Mengenal nama-nama Allah. Kelak ketika beranjak dewasa, semoga kalian akan semakin paham dan tidak berhenti mentadabburi Al Qur'an.

In sya Allah ada banyak kebaikan dari mainan ini. Makanya kami juga mengajak orang lain untuk membelinya, hehe #tetepjualan #semangat #alqolam #afiztalkingdoll #mushafmaqamat

Love you kiddos :*

-sept2015-