Saya menonton film ini dalam perjalanan ke Jambi, 26 Agustus lalu. Lagi-lagi gak tau juga kenapa ujung-ujungnya milih film ini, mungkin sekilas karena sinopsisnya tentang "kepala sekolah dengan bayaran terendah". Ternyata, baru 20 menit berjalan, saya sudah menangis *huuu*
Ini trailernya *gak ada sedih-sedihnya tapi ini trailer... baru kerasa kalo ngikutin film dari awal. ciyus deh*
Ketebak nggak jalan ceritanya?
Little Big Master dirilis pada Maret 2015. Film yang dibintangi oleh Miriam Yeung (memerankan Hung) dan Louis Koo (memerankan Tung) ini mengisahkan tentang pendidikan, khususnya pada anak usia dini.
Hung, awalnya bekerja sebagai kepala sekolah di suatu TK terkenal. Tetapi kemudian ia mengundurkan diri karena merasa tidak bisa mempertahankan idealismenya dalam mendidik anak-anak. Film dimulai dengan adegan seorang anak yang merasa tertekan karena tidak bisa mendapatkan nilai sempurna dan dia merasa ketakutan akan mengecewakan orang tuanya. Orang tua anak itu memang ternyata mengharapkan sang anak bisa menjadi anak yang pintar dan selalu mendapat posisi teratas di kelas. Hal itu berhubungan dengan ego mereka, yang menganggap sudah seharusnya anaknya pintar dan sempurna karena mereka berasal dari keluarga yang terpandang. Hung tidak sepakat dengan hal tersebut. Anak-anak yang dipaksa sempurna, kenyataannya sering berbuat konyol dan cenderung menyakiti diri sendiri ketika tidak mencapai target yang ditentukan orang tuanya. Semacam depresi.
Bersamaan dengan pengunduran diri Hung, ternyata suaminya Tung, juga mengundurkan diri dari pekerjaannya sebagai kurator di sebuah museum. Mereka saling bercerita mengenai hal itu ketika merayakan ulang tahun pernikahan yang ke-10. Kemudian, mereka saling berjanji bahwa walau demikian, mereka tetap akan mewujudkan impian mereka untuk berkeliling dunia. So sweet...
Inti cerita film ini kemudian berlanjut pada Hung yang tergerak hatinya setelah melihat tayangan di televisi mengenai sekolah TK yang tidak terurus dan hanya menyisakan 5 siswi miskin. Hung kemudian menelusuri alamat dan melihat langsung kondisi sekolah tersebut. Tidak ada yang bersedia menjadi guru dan kepala sekolah di sana, apalagi desa setempat hanya mampu membayar kepala sekolah di sana dengan bayaran 4500Yen. Sangat kecil. Selain itu, sekolah tersebut diancam ditutup jika tidak ada yang bersedia menjadi kepala sekolah. Itulah yang mendorong Hung untuk memutuskan mengambil kesempatan menjadi kepala sekolah di desa tersebut, walaupun harus merangkap mengurusi semua hal, termasuk bersih-bersih.
foto dari sini
Mengharukan. Tetapi tidak melulu sedih.
Film yang disutradarai Adrian Kwang ini menyajikan nuansa kekeluargaan yang seharusnya memang diciptakan dalam kehidupa sekolah. Bagaimana membina hubungan guru dengan murid, serta sekolah dengan keluarga murid juga sangat terasa. Secara tidak langsung, film ini juga memberikan kritik sosial akan keberadaan sekolah umumnya saat ini yang kurang membangun komunikasi dengan keluarga atau keluarga yang membebankan harapan terlalu berat bagi anak. Padahal, itu juga termasuk bagian dari pendidikan. Apalagi bagi pendidikan di usia dini.
Anak-anak yang semula murung, lambat laun berubah ceria. Sebenarnya juga mereka bukan anak yang bodoh, melainkan memang memerlukan fasilitator yang bisa tulus melihat dan memberikan peluang belajar yang luas kepada mereka. Hung dan Tung juga berempati dengan keluarga siswanya. Hung tidak lelah meyakinkan keluarga anak didiknya bahwa pendidikan itu penting dan dapat menjadi jalan bagi mereka untuk keluar dari kemiskinan.
foto dari sini
Sayangnya, perjalanan hanya 1 jam kurang, jadi saya tidak bisa menyelesaikan menonton film ini dalam 1 kali perjalanan udara. Hehe.. Kapan-kapan disambung lagi deh *nontonnya* Saya yakin, jalan ceritanya tetap bagus dan jauh dari pesan terselubung negatif. *semoga*
foto dari sini